Manadozone || Jakarta – Aksi terorisme yang masih terjadi di Indonesia membuat Irjen Pol (Purn) Dr Benny Jozua Mamoto SH, MSi angkat bicara.
Saya ditemui Manadozone.com di Jakarta, Mamoto menyebut bahwa Sulawesi Utara (Sulut) merupakan daerah yang cukup rawan untuk dimasuki kelompok teroris mengingat posisi geografisnya yang dekat dengan Mindanao, Filipina.
Benny telah menangani terorisme sejak tahun 2001 diawali adanya aksi teror di rumah ibadah pada Malam Natal dan berlanjut hingga tragedi Bom Bali yang cukup menggemparkan dunia kala itu
“Saya mulai tahu adanya jaringan terorisme di Indonesia justru setelah saya memeriksa beberapa tahanan teroris di Singapura, Malaysia, Philipina, Australia, dan Afganistan,” ujar Mamoto mengisahkan.
Menurutnya saat itu yang paling aktif adalah jaringan teror dari kelompok Al Jamaah Al Islamiyah (JI) pimpinan Abubakar Baasyir.
“Target mereka adalah mendirikan Daulah Islamiyah yang wilayahnya meliputi Asia Tenggara, Australia, dan Maladewa,” urai Mamoto. Lebih jauh mantan Deputi Badan Narkotina Nasional (BNN) memaparkan bahwa pembagian wilayahnya adalah Manthiqi 1 (kawasan ekonomi) meliputi Singapura dan Malaysia, Manthiqi 2 (Kawasan Jihad atau Kawasaran garap utama) meliputi Sebagian Indonesia dikurangi Kalimantan Timur (Kaltim) dan Sulawesi. Manthiqi 3 (kawasan pelatihan) meliputi Philipina Selatan, Sulawesi dan Kaltim. Manthiqi 4 (Persiapan) Australia. Dalam perkembangannya lokasi pelatihan dibangun di Poso.
Kembali disinggung kerawanan Sulut dari aksi teror yakni saat pernah diledakkannya bom di Konsulat Philipina di Manado. Hal ini sebagai respon atas serangan militer Philipina terhadap camp militer Abubakar di Mindanao. Serangan serupa juga terjadi di rumah Duta Besar Philipina di Jakarta pada 1 Agustus 2000. “Mereka juga merencanakan bom di MC Donald dan KFC tapi bisa dijinakkan dan pelaku nya tertangkap,” jelas Mamoto.
Masih terkait Sulut, Mamoto menjelasman bahwa para teroris juga pernah melakukan pelatihan di sekitar pantai Manado. “Bukan hanya itu mereka juga sempat membangun posko di daerah Kairagi. Yang dilakukan Fathurohman Al Ghozi (Akhirnya tewas di Filipina, red) untuk menampung senjata,” papar Mamoto lagi. Ditambahkannya, Fathurohman Al Ghozi adalah ketua tim penyerangan bom rumah Dubes Philipna di Jakarta.
Menyinggung posko yang dibangun didaerah Kairagi. Menurut Mamoto tidak berlangsung lama. “Posko tersebut bubar karena saat dia (Al Ghozi) memanggul senjata yang ditutupi dengan kain, senjata tersebut jatuh. Spontan malam hari itu mereka kabur,” tutur Mamoto.
Menurutnya beberapa teroris yg pergi dan pulang dari Mindanao juga selalu singgah di Manado. Dengan fakta-fakga tersebut, Mamoto ingin menunjukkan bahwa Sulut menjadi kawasan empuk bagi teroris karena letaknya yang sangat strategis.
Ketua Dewan Penasehat Kerukunan Keluarga Kawanua ini mengingatkan bahwa semua perlu mewaspadai karena Sulut termasuk rawan aksi teror. “Kelompok JAD dan JAT adalah pecahan atau turunan dari JI, ideologinya sama tapi mereka berbaiat ke ISIS,” tandas Mamoto. “Dengan adanya operasi perburuan terhadap sel sel mereka (kelompok teroris) maka mereka akan mencari tempat yang dinilai aman dan Sulut dapat menjadi salah satu tujuannya. Karena mereka mudah menyeberang ke Mindanao. Anggota JAD berangkat juga ke Marawi saat masih konflik,” papar Mamoto lagi.
Masyarakat Sulut Perlu Bersinerji Antisipasi Kerawanan.
Mamoto yang saat ini menjabat Wakil Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia memberikan pandangan guna mengantisipasi aksi teroris yakni diperlukan sinerji semua elemen masyarakat dan pemerintah untuk tetap waspada namun juga tidak berlebihan. “Ketua RT, RW, Kepala Jaga, tokoh masyarakat serta tokoh-tokoh lintas agama, termasuk tokoh adat agat bersatu padu membangun suasana damai dan harmoni,” jelasnya. “Perlu lebih waspada dan peduli terhadap orang-orang yang tidak dikenal atau pendatang baru dilingkungan kita. Karena disaat mereka diburu aparat maka mereka akan berpindah pindah tempat. Kita juga perlu hati-hati saat menggunakan gawai atau ponsel, jangan asal share berita yg tidak terkonfirmasi, hoax, foto dan video yang mengerikan, fitnah, provokatif, dan banyak lagi. Kita harus ingat bahwa para teroris memerlukan dukungan media sosial (medsos) untuk membangun opini,” ujarnya. “Contoh seperti tulisan yang menyatakan bahwa teror di Surabaya adalah rekayasa atau Dita itu dijebak. Tulisan seperti itu berasal dari ‘supporternya’ teroris. Seperti teori tentang organisasi teroris dr Frasher, disebut ‘Passive Supporter’. Jadi kalau kita tanpa sadar menyebarkan berita-berita seperti itu, sesungguhnya kita sudah membantu teroris membentuk opini yang merugikan aparat pemerintah tapi menguntungkan teroris,” tutup Mamoto. (JimmyEndey)