Manado, MZ – Menjelang 100 hari kerjanya, Gubernur Sulawesi Utara Yulius Selvanus dihadapkan pada tantangan yang tak biasa.
Alih-alih disambut dengan kestabilan birokrasi dan dukungan solid, ia justru terjun ke dalam pusaran badai yang datang dari berbagai penjuru: pejabat-pejabat strategisnya diperiksa hingga diciduk Polda Sulut dalam kasus dugaan korupsi, loyalitas ASN yang compang-camping akibat trauma Pilkada, serta problematika politik internal partai pengusung yang bukannya menopang, malah kadang menjadi batu sandungan.
Penegakan hukum yang menyentuh lingkar dalam pemerintahan provinsi bukan hanya mengguncang kepercayaan publik, tapi juga memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi etika birokrasi yang diwariskan kepadanya.
Di sisi lain, banyak ASN masih belum sepenuh hati menerima arahan kepemimpinan baru, sebagian besar karena keterikatan emosional dan politis dengan kekuatan lawan saat Pilkada lalu. Mesin birokrasi yang seharusnya netral dan profesional terbelah secara diam-diam, menyebabkan program-program strategis berjalan pincang.
Tak kalah pelik, dukungan politik yang mengantarnya ke kursi gubernur justru menyisakan kerikil dalam sepatu.
Di tingkat daerah, dinamika pengurus partai pengusung—yang lebih sibuk mengatur kepentingan internal daripada mengawal agenda gubernur—membuat Yulius harus menyeimbangkan posisi antara pemimpin pemerintahan dan manuver politik yang tak selalu searah dengan visi pembangunan.
Namun Yulius Selvanus bukan figur yang asing pada ketegangan. Latar belakang militernya mengajarkannya untuk tidak gentar pada tekanan, tapi juga peka membaca medan.
Ia menjawab semua ini dengan langkah terukur: memperketat pengawasan internal, mempertegas garis komando dalam birokrasi, serta menjaga komunikasi politik agar tetap rasional di tengah atmosfer yang penuh ego sektoral.
Bagi Yulius, kepemimpinan bukan tentang menjaga posisi, tapi tentang keberanian membenahi sistem yang telah terlalu lama dibiarkan retak.
Seratus hari kerja belum cukup untuk mengubah wajah birokrasi Sulut sepenuhnya, tapi cukup untuk memberi tanda: bahwa era pembiaran telah usai, dan pemimpin baru telah datang dengan kompas yang berbeda.
Jika badai adalah ujian awal, maka keberanian Yulius menatap mata angin patut dicatat sebagai awal dari perubahan yang sesungguhnya.(Januar)