Pengucapan syukur adalah suatu tradisi masyarakat Sulawesi Utara khususnya Minahasa Raya dan Manado atas berkat yang diberikan Tuhan Sang Pencipta.
Sejak dahulu kala, pengucapan syukur identik dengan makanan dan minuman yang disajikan untuk santap bersama dengan para tetamu setelah melakukan ritual ibadah di gereja terlebih dahulu. Melakukan pujian dan doa kepada Tuhan atas masa panen. Biasanya dilaksanakan pada bulan Juni – Juli.
Kala itu, perayaan mirip Thanksgiving di Amerika Serikat ini erat dikaitkan dengan panen padi, cengkeh, dan komoditas andalan lainnya termasuk kelapa. Seiring berkembangnya jaman, pengucapan syukur dimaknai secara lebih luas dan universal yaitu rasa terimakasih kepada Tuhan atas segala berkat termasuk pekerjaan, kesehatan, kesuksesan, dan lain-lain, tak hanya terbatas pada panen komoditas pertanian.
Masyarakat Kota Manado sendiri kebanyakan berprofesi sebagai karyawan swasta dan Aparatur Sipil Negara (ASN) namun tetap antusias dalam merayakan pengucapan syukur. Warga kota ini kebanyakan memang merupakan suku asli Minahasa. Ini juga menjadi alasan kenapa warga Manado juga melaksanakan pengucapan syukur, karena pengaruh yang kuat budaya Minahasa.
Namun disini kita membahas pengucapan syukur sebagai rasa ungkapan terima kasih atas panen raya yang merupakan stigma budaya suku Minahasa dan terus melekat erat hingga sekarang.
Apa yang terlintas di benak jika melihat kondisi petani cengkeh dan kelapa saat ini? Apakah mereka telah, sedang dan akan merayakan pengucapan syukur dengan riang gembira ditengah merosotnya harga cengkeh dan kopra? Sesungguhnya mereka tidak sedang merayakan karena hasil melimpah panen raya sesuai tradisi asli Minahasa.
Kekecewaan atas anjloknya harga kedua komoditas andalan petani Sulut ini sampai ke batas yang tidak wajar, harus mereka pendam meski terasa sangat menyakitkan. Pengucapan syukur toh memang harus dimaknai bukan hanya soal panen raya namun atas segala berkat yang diberikan Tuhan.
Harga Cengkih awal tahun yang berada di kisaran Rp.98.000 dan turun menjadi Rp.74.000 di awal pertengahan tahun seperti Kopra dari Rp.6000 menjadi Rp.4000/ Kg harus mereka terima dengan ikhlas meski menelan kepahitan. Mereka menangis namun ditunda hingga selesai perayaan pengucapan syukur kemudian bisa menangis lagi.
Berharap dengan sangat ‘Nyiur Melambai’ terus menjadi sapaan hangat daerah ini. Sebagai lambang dan identitas diri masyarakat di ujung utara NKRI. Kebanggaan yang tak terganti sejak leluhur mengabdi. Yang pernah sejalan dengan ‘emas coklat’ cengkeh dalam memberi kekayaan dan kejayaan bagi para petani di Sulawesi Utara.
Oleh: Tomy Lasut.
(Penulis adalah Redaktur Pelaksana Media Online Manadozone.com)