Permasalahan Pekerja Migran Indonesia

Opini612 Dilihat

Penulis: Irjen Pol (P) Dr Ronny Franky Sompie SH, MH. (*

Pekerja Migran Indonesia (PMI) disebut-sebut sebagai pahlawan devisa bagi negara. Namun, kenyataannya pahlawan itu acap kali terbebani dengan himpitan utang.

Lebih mirisnya, utang mereka dikarenakan harus membiayai berbagai hal dalam penempatan pekerjaan. Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, biaya penempatan pekerja migran seharusnya dibebankan pada pemberi kerja. Biaya ini menyangkut biaya administratif dan teknis sebelum keberangkatan.

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, para PMI yang akan berangkat bekerja harus mendapatkan perlindungan dalam hal administrasi dan teknisnya. Para PMI yang bekerja harus bisa bekerja dengan baik dan tenang tanpa memikirkan pembiayaan-pembiayaan yang membebaninya. Penting untuk memastikan perlindungan dan kepastian pembiayaan bagi para PMI. Jangan sampai PMI pekerja harus menanggung biaya utang.

Hal seperti ini antara lain sebagai penyebab para PMI mencari peluang untuk bisa bekerja ke luar negeri tanpa mengeluarkan biaya besar. Namun demikian, sindikat perdagangan orang baik di dalam negeri maupun di luar negeri selalu mendapatkan peluang untuk memanfaatkan ketidakpahaman PMI tentang cara bekerja di luar negeri dengan menawarkan berbagai kemudahan. Tidak jarang terjadi kasus penipuan terhadap para PMI.
Semangat Kolaborasi Pencegahan Penempatan Illegal PMI ke Kamboja

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia mengatakan, bahwa terjadi kenaikan signifikan jumlah dari korban penipuan terhadap pekerja migran Indonesia di Kamboja pada 2022 dibandingkan pada tahun sebelumnya. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, bahwa lebih dari 400 pekerja migran Indonesia telah menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Kamboja sepanjang Januari hingga Agustus 2022. Terjadi peningkatan tajam jumlah korban WNI dari total 119 pada tahun 2021 menjadi 446 orang pada Januari sampai Agustus 2022.

Menlu Retno Marsudi juga menambahkan bahwa kasus penipuan terhadap pekerja migran Indonesia tidak hanya terjadi di Kamboja, namun juga di Myanmar, Laos, Thailand, dan Filipina. Perekrutan dan pemberangkatan pekerja migran Indonesia secara ilegal sampai bulan Agustus 2022 masih terus terjadi.

Direktur Perlindungan WNI Kemlu Judha Nugraha mengungkapkan pada 12 Agustus 2022 lalu Kementerian Luar Negeri telah menggagalkan pengiriman 214 orang pekerja migran Indonesia yang hendak diberangkatkan ke Sihanoukville, dengan memblokir penerbangan pesawat. Mereka menggunakan charter flight ke Sihanoukville. Dengan kolaborasi dan kerja sama berbagai pihak, Pemerintah berhasil menggagalkan dan menangkap pelakunya.

Walaupun telah terjadi upaya menggagalkan pengiriman 214 orang PMI ke Kamboja, tetap saja informasi seperti ini belum diketahui oleh warga Indonesia lainnya yang ingin bekerja ke luar negeri, termasuk Kamboja.

Baru-baru ini Rendy Ondang diketahui adalah PMI asal Sulawesi Utara yang ditemukan meninggal di Kamboja. Permasalahan warga Sulawesi Utara yang bekerja di Kamboja merupakan rangkaian permasalahan yang sudah terjadi sejak akhir tahun 2022. Karena itu, sangat dibutuhkan peran serta seluruh stakeholder termasuk masyarakat dari berbagai kalangan untuk mencegah hal tersebut tidak terjadi.

Dengan maraknya kejadian yang melibatkan warga asal Sulawesi Utara bekerja di luar negeri, khususnya Kamboja, maka seharusnya hal ini menjadi perhatian khusus dari berbagai kalangan baik pemerintah maupun masyarakat secara bersama-sama berupaya melakukan pencegahan. Selain upaya pencegahan, maka upaya penindakan sesuai hukum yang berlaku terhadap pelaku yang menjadi perekrut harus segera dilakukan oleh aparat penegak hukum, agar permasalahan PMI yang bekerja di Kamboja tidak terus terjadi.

Kita pahami bersama, bahwa UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia memiliki beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan penindakan terhadap pelaku yang merekrut PMI tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Selain Penyidik Polri, maka Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari Dinas Ketenagakerjaan Provinsi, Kabupaten dan Kota bisa melakukan inisiatif untuk menegakan hukum terhadap kasus yang dialami oleh Rendy Ondang di Kamboja.

Pasal 78 UU No 18 Tahun 2017 pada ayat (1) menjelaskan bahwa Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 81 UU No 18 Tahun 2017 dapat digunakan sebagai dasar oleh PPNS Ketenagakerjaan dari Disnaker Prov. Sulawesi Utara untuk memproses pelakunya, yaitu Orang perseorangan yang melaksanakan penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 82 UU No 18 Tahun 2017
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), setiap Orang yang dengan sengaja menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia pada:

a. jabatan dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja sehingga merugikan Calon Pekerja Migran Indonesia tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a; atau
b. pekerjaan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b.

Pasal 83 UU No 18 Tahun 2017
Setiap Orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 yang dengan sengaja melaksanakan penempatan Pekerja Migran Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp I 5. 000. 000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Selain UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI, masih ada UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang dan UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian khususnya pasal 120 tentang Penyelundupan Manusia bisa diterapkan terhadap pelaku perekrutan yang menyebabkan Rendy Ondang meninggal di Kamboja.

Penindakan yang bersikap proaktif dan terkoordinasi lintas Instansi Penegak Hukum dapat membuat jera para pelaku perekrutan PMI yang seringkali memanfaatkan ketidakpamahan para calon PMI yang akan bekerja ke luar negeri.

Saran saya, perlu ada kerjasama antara Penyidik PPNS Disnaker Provinsi Sulut dengan Penyidik dari Polda Sulut dan Penyidik PPNS Imigrasi dari Kanwil Kemenkumhan Sulut, agar tidak ada peluang bagi pelaku untuk lepas dari tanggungjawab hukumnya. Minimal pelaku dapat dijerat dengan Pasal 120 ayat (1) UU No 6 Tahun 2011 tentang Penyelundupan Manusia, karena perekrut membawa korban Rendy Ondang dan istri ke Kamboja tanpa menggunakan VISA untuk BEKERJA dari Negara Kamboja. Korban dan isterinya hanya menggunakan VISA KUNJUNGAN melalui Singapore untuk berangkat ke Kamboja. Modus operandi seperti ini jangan sampai ditiru lagi oleh pelaku lainnya.

Namun demikian, pasal pidana tentang Perdagangan Orang sebagaimana dalam UU No 21 Tahun 2007 telah dapat diterapkan kalau kasus ini diproses oleh Penyidik Polda Sulut cq Direktorat Reskrim Khusus. Pembuktiannya sangat telak, hanya saja Penyidik Polda Sulut harus memeriksa Pemilik Perusahaan di Kamboja untuk melengkapi pembuktian dari proses penyidikannya.

Oleh karena itu, apabila Penyidik Polda Sulut mengalami kesulitan menggunakan UU No 21 Tahun 2007, perlu mempertimbangkan Pasal Pidana dari UU No 18 Tahun 2017 dan UU No 6 Tahun 2011 tentang Penyelundupan Manusia yang dapat diproses oleh Penyidik PPNS Imigrasi.

Artinya, kerjasama penyidikan sangat diperlukan, sehingga dapat memaksimalkan efek jera terhadap Pelaku Kejahatan Penipuan PMI dengan modus operandi memberi kerja dengan iming-iming pemberian gaji yang tinggi.

Perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia yang akan bekerja di luar negeri memang perlu dilakukan dengan cara kerjasama lintas sektoral dari semua stakeholder terkait.

Berkaitan dengan masih banyak PMI asal Sulut yg bekerja di negara-negara tertentu dengan cara merugikan PMI, maka perlu upaya keras untuk memberikan perlindungan terhadap mereka melalui Sistem Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance) atau sering disingkat dengan MLA merupakan sistem kerjasama internasional dalam bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan khususnya terhadap kejahatan lintas negara (transnational crime).

Khusus negara ASEAN MLA seringkali dilakukan oleh Kemenkumham RI dengan sesama Kementerian terkait dari negara-negara Asean melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham RI.

Kementerian Luar Negeri perlu dibantu untuk bisa memulangkan para PMI yg masih berada di luar negeri, ketika mereka telah mengalami penderitaan seperti yg dialami oleh Rendy Ondang, salah seorang PMI asal Sulut yang baru baru ini telah kembali ke Sulut atas bantuan kerjasama semua pihak yg terkait.

Namun demikian, upaya penegakan hukum untuk memberikan efek jera terhadap sindikat perdagangan orang yang memanfaatkan celah di bidang ketenagakerjaan melalui calon PMI yg akan bekerja diluar negeri, seyogyanya menjadi perhatian kita bersama saat ini ke depan.

Tidak boleh lagi ada korban calon PMI berikutnya melalui upaya pencegahan dan sosialisasi yg gencar terhadap masyarakat terutama generasi muda Indonesia khususnya di Sulut yg ingin bekerja ke luar negeri. BP2MI dan Kemnaker melalui ujung tombaknya di Dinas Tenaga Kerja di Provinsi Sulut, Kabupaten dan Kota di jajarannya bisa terus digelorakan.

*) – Penulis adalah Pakar Hukum Pidana Universitas Borobudur dan Dosen di Politeknik Imigrasi.
– Dirjen Imigrasi (2015-2020)
– Ketua Dewan Pembina Kerukunan Keluarga Kawanua.

Yuk! baca BERITA menarik lainnya dari MANADO ZONE di GOOGLE NEWS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *